gus dur tentang syiah

Melaluisyi’ir Tanpo Waton, seakan-akan Gus Dur menjelaskan sangat detail bagaimana menjadi Islam. Sebagai sebuah pengenalan bahwa selain beragama, manusia juga dibekali Takhanya itu, Gus Dur memiliki kelakar lain perihal surga. Kelakar itu dimulai Gus Dur terkait seorang nenek-nenek yang risau mendengar sabda Rasulullah bahwa di Surga tak ada nenek-nenek. Ia sedih bukan main. Untungnya Sang Rasul menjelaskan bahwa semua penduduk surga akan kembali muda. Alihalih mendefinisikan Syiah, Gus Dur memberikan sebuah perumpamaan yang bermain dengan logika komparatif plus agak matematikal bahwa secara kebudayaan, syiirtanpowaton #gusdur #beningmusikKali ini Leviana Cover Sholawat Syi’ir Tanpo Waton yang dipopulerkan oleh Alm. Gus'Dur. sholawat penuh makna dan mendal PandanganGus Dur Tentang Islam (1) 4 Januari 2022 Juru Tulis. Hakikat Islam adalah ketundukan dan kepatuhan hamba kepada Tuhan Yang Maha Esa disertai dengan penyerahan diri secara totalitas tanpa reserve. Sikap ini, sebagai manifestasi dari hati nurani yang paling dalam tanpa adanya paksaan, agitasi maupun intimidasi, bahwa sebagai makhluk Schön Dass Ich Dich Kennenlernen Durfte Sprüche. Secara fisik, sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Akan tetapi jika diteliti lebih dalam terutama dari sisi akidah, perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga tidak mungkin disatukan..Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela dan pengikut seseorang, selain itu juga bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara. Tahdzibul Lughah, 3/61 karya Azhari dan Taajul Arus, 5/405, karya Az-ZabidiAdapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu HazmSyiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin Affan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu umat islam pun masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka menyembunyikan pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para itu mereka terbagi menjadi tiga yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq Syiah yang menuhankan Ali. Andaikan aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang penyiksaan sebagaimana siksaan Allah dibakar, akan tetapi aku pasti akan memenggal batang leher mereka, karena Nabi bersabdaمن بدل دينه فاقتلوه“Barangsiapa yang mengganti agamanya murtad maka bunuhlah ia“Golongan Sabbah pencela. Ali mendengar tentang Abu Sauda Abdullah bin Saba’ bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diriGolongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar. Padahal telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda,خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر“Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar dan Umar”. Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah rafidhah, Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian banyak cabang-cabang sekte lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim Syah Reza menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari keduanya, mencela lagi menghina para sahabat bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.” ash-Sharimul Maslul Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul Islam Ibnu TaimiyahSebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. Badzlul Majhud, 1/86Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka para pengikutnya meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada merekaرَفَضْتُمُوْنِي؟“Kalian tinggalkan aku?”Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” Maqalatul Islamiyyin, 1/137. Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 13/36.Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman Shan’a yang bernama Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan imamah sesudah Nabi Muhammad seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam menurut persangkaan mereka.Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam khalifah dan ia adalah seorang yang ma’shum terjaga dari segala dosa.Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan tanassuk giat beribadah, ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat bahkan kufur yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk menggulingkan Khalifah Utsman bin Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi. Lihat Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil Izz hlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang paling ringan kesalahannya.[Disusun dari dari berbagai sumber, di antaranya kitab Al-Furqon Bainal Haq Wal Batil tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, judul bahasa indonesia “Membedah Firqoh Sesat” penerbit Al-Qowam]Daftar Isi Lanjut ke Bab 2—Penyusun Satria Buana Artikel Gus Dur Syiah adalah NU Plus Imamah’ Menurut budayawan Koentjoroningrat, terdapat tiga lapisan kebudayaan, yaitu ideofak, sosiofak, dan artefak. Tradisi dan budaya keagamaan memiliki tiga level/lapisan. Level terluar disebut artefak berupa simbol-simbol; level tengah disebut sosiofak berupa amalan ritus; dan level terdalam disebut ideofak berupa ide dan nilai dasar yang melandasi kedua lapisan lainnya. Ideofak adalah makna dan pesan inti dari tradisi dan budaya keagamaan. “Gus Dur pernah menyatakan bahwa NU adalah Syiah kultural. Gus Dur melihat ini dari kacamata kultural, bahwa tradisi-tradisi yang dijalankan orang NU sebagian mengindikasikan adanya pengaruh Syiah.” Agus Sunyoto, Baca juga Syahadat Syiah Berbeda dengan Ahlusunah? Apa yang dinyatakan Gus Dur merupakan refleksi beliau untuk mengungkap lapisan ideofak yaitu sistem makna yang tersembunyi di balik berbagai tradisi yag dijalankan oleh NU. Gus Dur memahami betul bahwa di balik simbol dan ritus terdapat lapisan ideofak, sistem signifikansi, dan itu adalah nilai dan spiritualitas Syiah. “Titik temu antara kita umat Islam Indonesia, terutama warga NU dengan Syiah yaitu seperti mahabbah Ahlulbait, sangat mencintai Habaib, Ahlulbait, cium tangan guru, cium tangan orang yang kita muliakan sama antara kita dan tradisi Syiah, baca Barzanji, baca Diba’, baca shalawat, haul, ziarah kubur, tawassul sama antara kita dan Syiah.” Prof. Dr. KH. Said Agil Sirajd Baca juga Menjawab Tudingan Mazhab Syiah adalah Sebuah Gerakan Politik Selain Sumatera dan Jawa, jejak spiritualitas Syiah juga ditemukan di berbagai daerah di Nusantara seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Sulu, Thailand, dan Malaysia. Di Sulawesi, peringatan Asyura masih dilangsungkan di beberapa wilayah meski tidak dilakukan secara kolosal seperti di Aceh, Bengkulu dan Pariaman. Masyarakat Muslim memperingatinya dengan memasak bubur khusus yang dikenal dengan bubur asyuro’. Sebagian besar orang Mandar menganggap bulan Muharam sebagai bulan bencana dan kedukaan yang tidak baik untuk menyelenggaraan perayaan kegembiraan seperti pernikahan, sunatan atau pendirian rumah. Dalam sebuah penelitian disertasi tentang identitas keagamaan di sebuah komunitas Muslim di Hatuhaha di Negeri Pelauw, Kecamatan Pulau Huraku, Maluku Tengah, seorang promovendus Universitas Gadjah Mada berhasil mempertahankan hasil penelitiannya. Namanya WW Salah satu temuan penting dari penelitian Yance Rumahuru adalah bahwa Syiah merupakan paham Islam yang pertama hadir di Hatuhaha, Pulau Haruku, Maluku Tengah. Sebagai seorang Nasrani, Dr. Yance tidak memiliki dilema antropologis yang mungkin dialami oleh seorang Muslim Sunni atau Syiah dalam penelitian ini. Sarjana lulusan Program Lintas Agama dan Budaya Pascasarjana UGM ini, menemukan sejumlah tradisi Syiah yang telah menjadi adat dan tradisi komunitas Muslim Hatuhaha. Baca juga Ali bin Abi Thalib Diagungkan Syiah, Sunni, dan Non-Muslim “Belakangan orang baru bilang bahwa Islam di Maluku im Sunni. Namun sebenarnya setelah saya melakukan penelitian tahun 2009-2011, saya menemukan bahwa di Maluku Tengah justru yang ada di sana adalah Islam Syiah. Kehadiran Islam di Maluku sendiri sebenarnya bisa ditarik ke belakang jauh sebelum kedatangan Portugis dan Belanda. Saya menemukan bahwa di abad ke-7, 8 dan 9 sudah ada orang-orang Cina dan orang Arab yang sebenarnya itu bukan orang Arab murni, tapi ada orang Persia yang datang juga ke Maluku dan mereka itu yang memperkenalkan Islam. Islam baru melembaga di Maluku baru pada abad ke-13, tapi di abad ke-7, 8 dan 9 itu saat perdagangan yang ramai. Islam sudah ada dengan kehadiran orang-orang Arab, Persia dan Cina tersebut. Pedagang Cina tidak diketahui agama mereka apa, tapi orang Persia dan Arab adalah Islam dan itu Syiah. Mengapa Syiah diterima di Maluku, karena tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran Syiah itu cocok dengan budaya orang Maluku dan sebenarnya ritual-ritual Syiah memiliki kesamaan dengan ritual-ritual yang ada di Maluku. Karena itu lalu saya berkesimpulan bahwa sebenarnya Islam yang tertua di Maluku adalah Islam Syiah. Jadi, sebenarnya untuk menyebutkan bahwa Islam Maluku adalah Syiah terutama di Maluku Tengah. Ritual-ritual keagamaan dan ritual adat yang sudah disatukan dan itu adalah ritual-ritual Syiah. Baca juga Syiah Hakiki dalam Pandangan Sayyidah Fathimah Di Maluku Tengah, terutama di pulau Haruku ada komunitas Muslim Hatuhaha yang mempunyai ritual tiga tahunan, namanya Maatenu. Pemimpin ritual itu disebutkan sebagai garis lurus keturunan dari Ali. Di dalam “maatenu” tersebut sebenarnya seruan-seruan yang dinaikkan adalah seruan-seruan untuk memuji Ali. Pedang yang digunakan, pakaian yang digunakan semuanya mengindikasikan simbol-simbol Syiah. Saya punya penelitian menunjukkan hal itu. Seluruh ritual-ritual yang lain termasuk tradisi maulid yang di kalangan Islam di Nusantara cukup hidup. Di sana mereka tidak hanya merayakan kelahiran Nabi saja, tapi kelahiran-kematian dan penghormatan kepada sahabat-sahabat Nabi dan terutama sebenarnya mereka merujuk kepada Ali. Dalam tradisi Perkawinan, selain ijab kabul mereka itu selalu mengatakan “Ali suka Fatimah, Fatimah suka Ali dan itu sah.” Dr. Yance Rumahuru Ternyata, seperti karakteristik umumnya di berbagai daerah Nusantara, paham Syiah mengalami proses pribumisasi sedemikian rupa sehingga Syiah di Pulau Haruku disebut dengan istilah Islam Adat. Baca juga Toleransi Muslim Syiah “Dalam konteks komunitas Muslim di Pulau Hatuhaha Maluku Tengah itu, masyarakat sendiri sejak tahun 1939 mereka membagi diri menjadi Kelompok Syariah dan Kelompok Adat. Mengapa demikian? Itu terjadi setelah di akhir abad ke-18 dan 19 ada banyak orang dari Maluku Tengah yang belajar Islam ke Arab dan kemudian mereka kembali. Generasi itulah yang kemudian mensponsori untuk memurnikan Islam dan menjalankan syariat secara baik dan itu menjadi alasan utama untuk memisahkan diri dari kelompok mayoritas Syiah yang sebetulnya menyatu dengan kultur lokal masyarakat setempat sehingga mereka menyebutkan diri sebagai Kelompok Syariah dan kelompok Syiah yang mayoritas di posisikan sebagai Kelompok Adat. Dalam tradisi keagamaan setiap saat sebenarnya tidak ada pertentangan antara Kelompok Syariat dan Kelompok Adat. itu tampak dalam pelaksanaan setiap ritual. Setiap ritual yang dilaksanakan di Kelompok Adat, Kelompok Syariah juga berpartisipasi dan sebaliknya.” Dr. Yance Rumahuru Syiah juga telah hadir di Thailand, terutama di kota Ayutthaya Ayodya, ibukota Kerajaan Siam abad 14-18 M. ”Lebih dari seribu tahun yang lalu muslim dari Timur Tengah, Persia, India datang ke Thailand. Kami menemukan bukti-bukti adanya komunitas muslim di berbagai daerah Thailand seperti Ayutthaya. Ayutthaya merupakan ibu kota Thailand pada abad 14 hingga 18. Kami mengenal banyak tentang komunitas Muslim di kerajaan Ayutthaya, khususnya di kota Ayutthaya ibu kota Thailand. Saat ini ada beberapa reruntuhan dari desa Syiah di Ayutthaya dan reruntuhan masjid muslim Syiah. Tapi sekitar abad 18 dihancurkan oleh musuh. Karena Ayutthaya merupakan pusat muslim Syiah dari Iran dan daerah selatan India. Kami menemukan bukti-bukti kebudayaan muslim Syiah di Thailand khususnya bangunan, kultur dan kami menemukan lukisan dinding di Tatum yang menggambarkan tentang penyelanggaraan acara Asyura. Di Thailand kami menyebut acara ini Muharam yang merupakan acara atau perayaan yang sangat terkenal di Thailand.” Dr. Julisprong Chularatana Baca juga Sunni CIA dan Syiah MI6 Bekerja Memecah-belah Umat Islam Di Malaysia, Syiah tentu saja juga sudah hadir sejak sejarah awal Islam melalui berbagai literatur hikayat yang mengisahkan perjuangan Ahlulbait Nabi Muhammad SAW menegakkan kebenaran dan keadilan. “Pedagang-pedagang Persia telah datang untuk berdagang di alam Melayu seperti di Malaka, Aceh dan pusat-pusat perdagangan yang masyhur ketika itu. Sehingga dapat dilihat bahwa unsur-unsur Persia telah menular dalam aspek-aspek tertentu masyarakat Melayu di Asia Tenggara. Sebagai contohnya dari sudut bahasa. Banyak sekali bahasa-bahasa yang dipengaruhi oleh persia, contohnya terdapat hikayat Hasan dan Husein, hikayat Nur Muhammad, hikayat Hanafiyah.” Dr. Rabithah Mohammad Ghazali Seorang pengkaji literatur dan hikayat Melayu, Dr. Mohammad Faisal bin Musa, berkesimpulan bahwa sejumlah hikayat Melayu Yang muncul sejak awal mula kedatangan Islam ke Semenanjung Malaka adalah karya klasik Melayu yang mengandung ajaran Syiah dan bukan hikayat Sunni dengan pengaruh Syiah. Sarjana Universitas Kebangsaan Malaysia ini melakukan analisis teks terhadap sejumlah hikayat seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah, Hikayat Hasan Husen Tatkana Kanak-kanak, Hikayat Hasan Husen Tatkala Akan Mati, dan Hikayat Tabut. Baca juga Syiah-Sunni di Bawah Panji Imam Husain Mohammad Faisal menyebutkan pula bahwa sejak kedatangan Wahabi abad ke-19, hikayat-hikayat Melayu yang memuat ajaran Syiah itu mengalami apa yang disebutnya sebagai de-Syiahisasi. Sejumlah ajaran khas Syiah dinetralisasi dengan mengubah isi kisah, “Ada kecenderungan ahli-ahli yang datang dari tanah Arab yang kurang apresiatif terhadap Ahlulbait sehingga misalnya hikayat Muhammad Ali Hanafiyah diganti menjadi hikayat Hasan Husain, tapi hikayat Hasan Husain ini juga akhirnya diganti lagi, supaya tidak dimekarkan.” Prof. Dr. Abdul Hadi Pertanyaan yang muncul sekarang adalah Apakah semua tradisi, budaya dan literatur yang begitu kental memuat ajaran dan spiritualitas Syiah yang hadir di berbagai wilayah Nusantara sejak awal kedatangan Islam muncul begitu saja hadir semuanya serba kebetulan? Jika memang tradisi sanjungan dan pembelaan kepada keluarga Nabi dianggap sebagai ajaran Islam pada umumnya, mengapa banyak umat Islam di Nusantara saat ini tidak mengenal siapakah Sayyidah Fatimah, siapakah Al-Hasan, siapakah Al-Husain? Mengapa tragedi Karbala yang membantai keluarga Nabi hampir pupus dalam kurikulum pengajaran Islam? Akal sehat dan nurani yang bening diundang untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut. Dikutip dari buku Menguak Akar Spiritual Islam Indonesia, Peran Ahlulbait dalam Penyebaran Islam di Nusantara. Penulis TIM ICRO dan Tim ACRoSS Baca juga “SYIAH” ABI Post Views 10,010 › Opini›Gus Dur, Gus Yahya, dan Fikih ... Fikih siyasah peradaban telah memancing kembali suatu pemikiran teologi yang mendasar dalam Islam, yaitu posisi manusia setara di depan manusia lain dan hukum, bukan hanya di depan Tuhan. HERYUNANTOIlustrasiSejak meninggalnya Gus Dur di akhir Desember 13 tahun yang lalu 30 Desember 2009, tahun-tahun berikutnya, sebulan sebelum dan sesudah Desember selalu ramai dengan haul Gus Dur secara berkesinambungan oleh berbagai komunitas, bukan hanya NU dan pesantren, melainkan juga kelompok agama-agama, kepercayaan lokal, kesenian, dan Dur memang memberikan inspirasi yang sangat dalam bagi para pemeluk agama-agama dan kepercayaan dalam membangun dialog dan harmoni. Ramainya haul Gus Dur selama tiga bulan tersebut tidak pelak menandai rindu masyarakat akan dialog dan harmoni tersebut yang lengket dengan ketokohan Gus Dur. Agar kita tidak hanya mengingat dan berharap melainkan mengembangkan dan mempertajam lebih jauh kiprah yang telah dilakukan Gus Dur, ada baiknya kita melihat lebih dalam apa yang dilakukan oleh PBNU di bawah KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya saat ini. Gus Yahya menyatakan sebagai pelanjut Gus Dur, termasuk dalam memperkokoh kesetaraan manusia dan warga negara yang berbasis pada agama atau teologi juga Gus Dur dan Problem Bangsa KitaGus Dur telah membangun fondasi keislaman bagi nasionalisme, kesetaraan manusia, dan kewargangaraan Indonesia meskipun harus berhadapn dengan rezim keyakinan dan kekuasaan yang kukuh yang ditopang oleh basis teologi Islam yang mapan. Hingga kini sebagian, jika tidak sebagian besar, imajinasi umat Islam yang tertanam adalah suatu ”kawin paksa” antara negara-bangsa yang menuntut kesetaraan mutlak di antara warga negara dengan parokialisme-keumatan yang mengedepankan identitas keagamaan tertentu. Sebagian, jika tidak sebagian besar, negara-negara di Asia dan Afrika yang memiliki basis kuat agama masih melandaskan pada parokialisme agama mungkin pengecualian, setidaknya secara konstitusional dan formal. Negara yang tidak mengidentikkan diri dengan agama dan etnis mayoritas ataupun minoritas tertentu dalam konstitusi dan filosofi Pancasila serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Masalahnya, apakah hal itu sudah menjadi kesadaran bersama bagi seluruh warga bangsa dan kelompok agama-agama serta diimplementasikan dalam kenyataan dan kebijakan publik pemerintah?DIDIE SWIlustrasi Gus DurPilihan politikKata moderasi, harmoni, toleransi, dan wasatiyah dalam pespektif ini sesungguhnya cara menghindari tabrakan secara langsung dalam ”kawin paksa” tersebut untuk tidak menjadi aktual namun tidak menyelesaikannya. Kata-kata tersebut juga mengandung pemakluman dan basa-basi terhadap ide-ide dasar akan diskriminasi dan kokohnya identitas agama dalam politik bagi kelompok tertentu. Kata-kata itu, bagi Gus Yahya, misalnya, belum menunjukkan pilihan politik yang jelas atas paham agama tentang kesetaraan mutlak begi kemanusiaan dan politik dalam beragama itulah tampaknya yang hendak disasar oleh Gus Yahya dalam kiprah lebih lanjut tentang hubungan dan dialog antaragama. Dengan kata lain, kemanusiaan dan kewarganegaraan harus menjadi dasar bagi pengembangan ide-ide keagamaan Islam kini dan ke depan, atau beliau menamakannya, fikih siyasah dan kewarganegaraan harus menjadi dasar bagi pengembangan ide-ide keagamaan Islam kini dan ke depan, atau beliau menamakannya, fikih siyasah demikian, fikih siyasah peradaban hendak menuntaskan konsep mendasar Islam tentang kemanusiaan dan kewarganegaraan tersebut, lepas dari pengembangan metodologi kajian dan praktik Islam apapun, kemanusian dan kewarganegaraan harus menjadi landasan utama. Dengan kata lain, seluruh pergulatan dan proses pemikrian dan praktik fikih harus dilandasarkan kepada hamparan kenyataan akan tuntutan kesetaraan sudut tertentu yang paling mendasar, Gus Yahya hendak membawa kembali gerbong fikih sebagai pengetahuan knowledge yang luas ke dalam belantara keilmuan mutakhir serta benturan kekinian dalam situasi nyata tentang pergolakan dan menguatnya sentimen keagamaan, polarisasi sosial, serta identitas keagamaan yang sering menjadi senjata politik dalam konflik dan perang. Kemudian, menjadikannya jalan dan muktamar fikih peradabanLebih dari itu, dari kegiatan Forum Agama G20 R20 yang diinisiasi oleh PBNU bekerja sama dengan Rabithah Alam Islamy, sebuah pertemuan para agamawan secara global di awal November lalu, telah didorong terjadinya semacam konsensus global agama-agama tentang penghapusan doktrin-doktrin setiap agama yang selama ini menjadi acuan dan landasan bagi maraknya sentimen agama, polarisasi sosial, dan menguatnya identitas politik yang berlebihan. Selanjutnya di puncak acara peringatan satu abad NU di awal Feburari tahun depan hendak dikukuhkan melalui pertemuan yang juga bersifat internasional antar para ulama Islam, yaitu muktamar fikih bagian dari peta jalan roadmapperubahan tersebut, muktamar fikih peradaban dipersiapkan secara cukup matang didahului dengan penyelenggaraan berbagai halaqoh seminar di pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Sejak Agustus 2022 hingga Januari 2023 diselenggarakan sebanyak 250 kali dengan 150-200 peserta setiap halaqoh dari Sabang hingga Meraoke. Ada empat topik yang dibahas dalam halaqoh tersebut, yaitu fikih siyasah negara-bangsa, fikih kewarganegaraan, fikih minoritas, dan fikih tata dunia juga Fikih Moderasi BeragamaMutamar fikih peradaban akan menjadi ajang terbangunnya semacam konsensus baru bagi masyarakat Muslim dunia tentang suatu tata dunia baru yang berintikan kesetaraan mutlak bagi manusia dan warga negara yang didasarkan kepada teologi atau fikih Islam. Meskipun masih harus dikonseptualisasikan lebih lanjut tentang dua konsensus tersebut, jika dilihat dari visi dan motiviasi KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, penggagas kedua hajatan global tersebut, akan berujung kepada penghapusan dan menghentian penggunaan doktrin-doktrin utama agama-agama bukan hanya Islam yang selama ini menjadi basis bagi terbangunnya identitas politik dan kekuasaan yang mengundang ketegangan dan perang. Sisi lain dari tata dunia baru, dengan kata lain, adalah menjadikan agama sebagai landasan bagi kesetaraan manusia dan warga negara ini sekaligus menjawab kritik dari para ilmuwan dan filosof modern terhadap Islam terutama Aswaja yang dianggap telah berhenti pemikiran teologi pasca Imam Asy’ari sebagai penengah antara Muktazilah yang berbasis akal dan Jabariyah yang berbasis naql atau dalil teks suci. Fikih siyasah peradaban telah memancing kembali suatu pemikiran teologi yang mendasar dalam Islam, yaitu posisi manusia setara di depan manusia lain dan hukum, bukan hanya di depan Tuhan. Suatu pencarian baru konsep dan praktik keadilan global serta sumbangan Islam atasnya. Tidak mudah bukan?Ahmad Suaedy, Dekan Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, JakartaDOKUMENTASI PRIBADIAhmad Suaedy Nasional radartegal Minggu, 6 Maret 2022 - 1905 Gus Dur dituding jadi penganut syiah yang merusak NU. Hal ini seperti diucapkan seorang kyai NU, Muhammad Ishaq Lasem. Dia meyakini bahwa organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama NU sudah rusak sejak zaman KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang menjadi presiden RI ke-4. Pak le saya Kyai Hamid, menuduh Gus Dur Syiah! Loh betul itu saya saksinya, ucap Kyai Muhammad Ishaq. Hal tersebut disampaikannya dalam sebuah video yang diunggah kanal YouTube NU Garis Lurus, dengan judul Rusaknya NU Sudah Sejak Zaman Gus Dur, dikutip pada Minggu 6/3. Saya di NU 20 tahun di Cabang NU Lasem, tahun 1884 sampai 2004. Saya cucu Mbah Dowi, saya salut sama Kyai Luthfi, detail sekali, kata Kyai Muhammad Ishaq lasem. Kyai Muhammad Ishaq diketahui sudah lama menjadi pengasuh dari salah satu Pondok Pesantren Lasem yang merupakan bagian dari NU. Dalam ceritanya, Gus Dur telah dituding menjadi "biang keladi" dari rusaknya NU. Setelahnya Kiyai Muhammad Ishaq mulai menceritakan sedikit tentang sejarah singkat NU. Ia bercerita bahwa sebenarnya NU sudah mengalami kerusakan sejak era Gus Dur. Hal itu sempat disampaikan oleh pamannya. Saya engga menanggapi itu, saya cerita sedikit tentang NU, ujar Muhammad Ishaq lasem melanjutkan. Pada saat itu, disebutkan bahwa pamannya yang bernama Kyai Hamid telah membuat tudingan kalau Gus Dur sebenarnya beraliran syiah. Jadi begini, NU itu rusak tidak oleh Said Aqil, mulainya Gus Dur! Ya orang menganggap wali, kalau Lasem menganggapnya itu sesat ya! paparnya. Lebih lanjut, ia mengatakan karena Gus Dur tidak terima maka ia sempat menuntut hal tersebut hingga masuk ke media cetak. Dan waktu itu Gus Dur mau nuntut, di koran-koran itu tahun 89-90 itu, ucap Muhammad Ishaq Lasem. Jadi Said Aqil ini kadernya Gus Dur!, jadi rusaknya NU itu dari Gus Dur!, ucapnya menambahkan dikutip dari ima/rtc SURABAYA - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama PWNU Jawa Timur memilih untuk merangkul warga Syiah di Sampang, Bondowoso, dan Jember, karena mereka umumnya warga yang tidak tahu tentang Syiah, sehingga tidak perlu dimusuhi. "NU sudah memutuskan bahwa Syiah itu sesat secara akidah, tapi NU memilih cara yang santun, dialogis, humanis, dan tidak melihat warga Syiah sebagai musuh, justru kami rangkul," kata Katib Syuriah PWNU Jatim KH Syafrudin Syarif di Surabaya, Kamis 19/12. Di hadapan 200 lebih peserta seminar bertajuk "Menyikapi Konflik Sunni-Syiah dalam Bingkai NKRI" yang diadakan Aswaja Center PWNU Jatim itu, ia mengatakan NU memilih cara yang humanis untuk menjaga keutuhan NKRI. "Syiah itu sangat berbeda jauh dengan Sunni secara akidah, tapi kami memilih cara yang santun agar mereka kembali pada jalan yang lurus, karena kami menilai warga Syiah itu umumnya tidak tahu persis Syiah secara akidah," katanya. Menurut ulama muda dari Probolinggo itu, tokoh NU KH Abdurrahman Wahid Gus Dur memang pernah melontarkan pernyataan bahwa orang NU itu lebih Syiah daripada orang Syiah, tapi pernyataan itu bukan berarti kooperatif pada Syiah. "Maksud Gus Dur yang sebenarnya adalah NU itu mengakui empat sahabat nabi yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, sedangkan Syiah hanya mengakui Ali, sehingga NU 'lebih' daripada Syiah karena tidak hanya mengakui Ali, tapi sahabat lain pula," katanya. Dalam seminar itu, pembicara lain, Ketua Komisi Hukum MUI Pusat, Prof Dr Mohammad Baharun SH MA, menyatakan Gus Dur juga pernah menyatakan Sunni adalah Syiah minus imamah. "Itu artinya Gus Dur menunjukkan kepada kita bahwa Syiah mengakui imamah," katanya. Namun, ia meminta masyarakat untuk berhati-hati karena Syiah itu menganut prinsip kontradiksi, antagonis, dan ambivalen. "Kalau Syiah versi Ali Syariati dan Syiah versi Muthohhar itu berbeda, maka perbedaan itu disengaja, agar masyarakat merasa ada hal yang benar dari Syiah," katanya. sumber AntaraBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini

gus dur tentang syiah